Sabtu, 05 Februari 2011

PERTOLONGAN PERSALINAN NORMAL

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari kegiatan ini diharapkan dapat:
1. Melakukan pengkajian kemajuan persalinan.
2. Mengidentifikasi masalah pada klien intranatal.
3. Membuat rencana asuhan keperawatan/kebidanan pada klien intranatal.
4. Melakukan manajemen nyeri pada klien intranatal.
5. Melakukan prosedur pertolongan persalinan normal.
6. Melakukan evaluasi asuhan keperawatan/kebidanan pada klien intranatal.

B. Pokok-Pokok Materi
Untuk mencapai tujuan tersebut, pokok-pokok materi yang harus dipelajari adalah:
1. Anatomi panggul reproduksi wanita.
2. Teori persalinan.
3. Manajemen nyeri persalinan.
4. Tahap-tahap persalinan.
5. Mekanisme persalinan.
6. Tanda-tanda persalinan normal dan proses persalinan.
7. Asuhan keperawatan/kebidanan pada ibu dalam persalinan normal kala I, II, III dan IV.

C. Uraian Materi
Sebelum melaksanakan prosedur tindakan pertolongan persalinan pada ibu intranatal, maka pertama-tama marilah kita pelajari pengkajian dan masalah dalam pertolongan persalinan.

1. Pengkajian
Pada awal kegiatan, peserta diharapkan memahami tentang kegiatan pengkajian yang berguna untuk mengidentifikasi keadaan pasien di saat Anda praktik ke lahan praktik. Lingkup pengkajian meliputi perubahan biofisik, psikologi dan sosial selama intranatal.
a. Kala I : Anamnesa
- Alasan datang.
- Kapan taksiran persalinan.
- Kapan mulai tanda-tanda persalinan.

1). Tanda–tanda persalinan yang benar:
a. Keluarnya darah bercampur sedikit lendir pervagina (bloody show).
b. Timbulnya kontraksi secara teratur mulai dari punggung menyebar ke perut dan meningkat secara intensif dan disertai rasa sakit.
c. Serviks : Terjadi pendataran dan dilatasi.
2). Riwayat tanda-tanda persalinan:
a. Riwayat tentang selaput ketuban.
b. Kontraksi teratur yang semakin lama semakin sering.
c. Bagaimana status emosi.
d. Ada masalah tentang kehamilan.
e. Kapan terakhir makan/minum.
f. Ada alergi terhadap makanan/minuman.
g. Siapa yang menemani selama persalinan.
3). Pemeriksaan fisik kala I:
a. Tanda-tanda vital : TD, nadi, pernafasan dan suhu.
b. Palpasi Leopod I, II, III dan IV.
c. Ukuran panggul.
d. Dilatasi serviks.
e. Kontraksi/his diperiksa selama 10 menit tiap 30-60 menit.
f. Sekret : merah muda sampai dengan cokelat (bloody show).
g. Selaput ketuban +/-.
h. DJJ terdengar jelas di umbilikus.
i. Perilaku : masih terkontrol, optimis, fatigue.
j. Varises, oedema di kaki dan wajah.

b. Kala II
1). Pengkajian
a. Klien mengeluhkan dorong kuat untuk meneran, merasakan tekanan yang semakin tinggi pada daerah rektum.
b. Perineum menonjol.
c. Vulva dan anus membuka.
d. Kaki gemetar saat dorongan mengedan.
e. Lelah.
f. Tidak tahu tehnik relaksasi.
g. Respon emosi takut/khawatir, tidak percaya diri, tidak terkontrol.
h. Kontraksi uterus kuat 4-5 x selama 50-70 detik.
i. Dilatasi 10 cm.
j. Darah keluar sedikit, lendir dari vagina meningkat.
k. Peregangan rektum/vagina.
l. Distensi vesika urinaria.
m. Ketuban (+)/terjadi ruptur.
n. Keringat +++
o. Frekuensi pernafasan meningkat.
p. TD meningkat 5-10 mmHg.
q. Janin : bradikardi selama his.
2). Lingkup masalah
a. Gangguan rasa nyaman, nyeri akut.
b. Pot. Gangguan cardiac output.
c. Gangguan pertukaran O2 (janin).
d. Gangguan integritas kulit.
e. Kurang mampu mengikuti pimpinan persalinan.
f. Potensial infeksi.
g. Potensial trauma pada ibu/janin.
h. Tidak efektif pola nafas.
i. Perubahan konsep diri.
j. Tidak efektif koping individu.

c. Kala III
1). Pengkajian
a. Perilaku gembira dan letih.
b. Tremor kaki menggigil.
c. Perdarahan pervagina.
d. Tali pusat memanjang.
e. Uterus berubah bentuk menjadi bulat dan keras.
f. Kehilangan darah (normal: 250-300 ml.).
g. Jalan lahir : lecet/sobek.
h. Luka episiotomi.
i. Hipotensi pengaruh dari obat/analgesik/anestesi.
j. Nadi lambat.
2). Lingkup masalah
a. Kurang volume cairan.
b. Potensial injury pada ibu.
c. Potensial gangguan proses dalam keluarga.
d. Kurang pengetahuan.
e. Gangguan rasa nyaman, nyeri.

d. Kala IV {Puerperium (setelah kala III s/d 1-2 jam)}
1). Pengkajian
a. Nadi.
b. Uterus.
- Tinggi : antara Symp – umbilikus; 12 jam pertama
c. Lochea : rubra.
e. Perineum : episiotomi, lecet, vulva oedema dan lembut.
f. Rektum : hemorroid.
2). Lingkup masalah
a. Gangguan genito urinaria.
b. Kurang volume cairan.
c. Potensial infeksi.
d. Gangguan rasa nyaman : nyeri.

D. Prosedur Pelaksanaan
Pertolongan persalinan memerlukan persiapan alat secara lengkap dan sistematis untuk agar pelaksanaan pertolongan persalinan tepat dan lancar.

1. Persiapan Alat:
a. Partus set terdiri dari:
- Duk 2 buah.
- Sarung tangan 2 pasang.
- Benang tali pusat/klip.
- ½ kocher 1 buah.
- Klem tali pusat 2 buah.
- Gunting tali pusat 1 buah.
- Gunting episiotomi 1 buah (kalau diperlukan episiotomi).
- Kateter logam/nelaton 1 buah (kalau diperlukan kateterisasi pada kala III)
- Kasa dan deppers 5-6 buah.
- Kapas kering.
- Duk penahan perineum 1 buah.
b. Heachting set terdiri atas steril:
- Nald folder 1 buah.
- Pinset anatomi 1 buah.
- Pinset chirhugie 1 buah.
- Gunting benang 1 buah.
- Jarum, catgut, cromix, ceide.
- Tampon vagina 1 buah.
- Kassa/deppers 4-5 buah.
- Mangkok kecil, 1 buah.
- Sarung tangan 1 buah.
c. Obat emergensi: oxitocyn dan metehergin serta spuilt.
d. Kapas kering steril.
e. Cairan DDT.
f. On steril:
- Betadin 10%, 2 buah kom kecil berisi cairan klorin.
- Ember untuk alat tenun kotor kotoran.
- Bengkok 2 buah.
g. Piring plasenta dan pot.
h. Alat-alat PI (pencegahan infeksi), cairan klorin dan wash lap atau handuk kecil.
i. Untuk bayi:
- Pengisap lendir.
- Peralatan mandi.
- Pembungkus bayi (handuk).
- Obat mata.
- Peneng/tanda identifikasi.
j. Pakaian ibu, pembalut, celana dalam.
k. Alat pelindung diri penolong (APD):
- Tutup kepala.
- Kacamata.
- Masker.
- Celemek.
- Sepatu bot.
l. Alat-alat untuk PI : cairan DDT 2 kom, washlap, tempat sampah medis dan non medis.

2. Langkah-Langkah Pertolongan Persalinan:
KALA I:
- Mempersiapkan alat sesuai kebutuhan.
- Kejelasan dalam menyampaikan tindakan yang akan dilakukan, tujuan, dan hasil tindakan.
- Melakukan penimbangan berat badan ibu hamil.
- Mengukur tanda-tanda vital ibu hamil.
- Melakukan pemeriksaan fisik ibu secara keseluruhan.
- Melakukan pemeriksaan Leopold I.
- Mengukur tinggi fundus uteri ibu hamil dengan menggunakan meteran pita.
- Melakukan pemeriksaan Leopold II.
- Melakukan pemeriksaan Leopold III.
- Melakukan pemeriksaan Leopold IV.
- Menilai denyut jantung janin.
- Memasang pengalas di bawah bokong ibu.
- Melakukan vulva hygiene.
- Melakukan pemeriksaan dalam, menilai kondisi servik dan jalan lahir.
- Merapikan alat-alat dan membuka sarung tangan.
- Melakukan pemeriksaan his/kontraksi.
- Melakukan manajemen nyeri.
- Melakukan pencatatan partograph.
- Melibatkan suami untuk mensupport ibu.
- Melakukan pendkes sesuai masalah ibu.
- Memantau kemajuan persalinan.
KALA II:
- Menjelaskan kondisi ibu, tindakan dan tujuan serta hasil tindakan kepada ibu dan keluarga.
- Melakukan persiapan penolong (cuci tangan, memakai topi kepala, sepatu boot, masker, celemek dan handuk kecil yang diselipkan di pinggang penolong).
- Meminta keluarga membantu menyiapkan posisi meneran.
- Mengajarkan kembali cara meneran, bimbing ibu agar dapat meneran dengan benar dan efektif, perbaiki cara meneran bila salah, anjurkan ibu untuk istirahat diantara waktu his.
- Menyiapkan alat pertolongan persalinan.
- Memasang duk steril.
- Lakukan vulva hygiene dan periksa dalam untuk memastikan pembukaan lengkap, memecahkan selaput ketuban pada saat his bila pembukaan sudah lengkap.
- Cuci tangan dengan larutan klorin 0,5 % lepaskan dan rendam dalam keadaan terbalik, kemudian cuci tangan dengan benar.
- Periksa denyut jantung janin saat relaksasi.
- Menyiapkan posisi ibu yang nyaman dan minta keluarga memberikan bantuan yang sesuai. Seperti membantu dan menyokong ibu pada posisi setengah duduk.
- Memberitahukan bahwa pembukaan sudah lengkap dan keadaan janin baik.
- Laksanakan bimbingan meneran.
- Memasang handuk diatas perut ibu.
- Letakkan kain steril dengan bentuk segitiga di bawah bokong ibu.
- Buka partus set dan periksa kembali kelengkapan alat.
- Pasang sarung tangan steril.
- Membantu melahirkan kepala: setelah tampak kepala bayi dengan diameter 5-6 cm membuka vulva:
a. Lindungi perineum dengan satu tangan dilapisi kain, dengan menggunakan ibu jari tangan kanan direntangkan dengan jari lain di bawah duk steril yang ditekan ke arah kranial.
b. Tangan kiri menahan kepala bayi untuk menahan posisi refleksi dan membantu lahirnya kepala perineum.
c. Menganjurkan ibu untuk meneran perlahan atau bernafas cepat dan dangkal.
- Periksa kemungkinan adanya lilitan tali pusat dan ambil tindakan sesuai kondisi : jika tali pusat melilit secara longgar, lepaskan melalui kepala bayi dan jika tali pusat melilit leher secara kuat, klem tali pusat di dua tempat dan potong di antara dua klem tersebut.
- Tunggu kepala bayi melakukan putaran paksi lurus secara spontan.
- Membersihkan mata, hidung dan mulut, dengan kasa steril.
- Membantu melahirkan bahu:
a. Memegang kepala bayi dengan jari tangan saling merapat secara biparietal. Anjurkan ibu untuk meneran saat kontraksi. Dengan perlahan gerakkan kepala ke arah bawah hingga bahu depan muncul di bawah arkus pubis dan kemudian gerakkan ke arah atas untuk melahirkan bahu belakang.
- Membantu melahirkan badan:
a. Geser tangan bawah ke arah perineum ibu untuk menyangga kepala, lengan dan siku sebelah bawah. Gunakan tangan atas untuk menelusuri dan memegang lengan dan siku atas.
b. Setelah tubuh bayi lahir, penelusuran tangan atas berlanjut ke punggung, bokong, tungkai dan kaki. Pegang mata kaki (masukkan telunjuk diantara kaki dan pegang masing-masing mata kaki).
- Lakukan penilaian APGAR score (bayi menangis kuat, tidak/bernafas tanpa kesulitan, bayi bergerak aktif/tidak, warna kulit, denyut nadi).
- Letakkan bayi depan vagina ibu dan lakukan klem pertama.
- Meletakkan bayi diatas handuk yang berada di perut ibu, kemudian bayi dikeringkan mulai dari kepala, dada dengan sedikit tekanan, punggung dan kaki.
- Selimuti bayi dengan bagian handuk yang kering.
- Memotong tali pusat:
a. Mengurut tali pusat ke arah plasenta.
b. Klem kedua dengan jarak 3-4 cm dari klem pertama.
c. Potong tali pusat, dengan memperhatikan keamanan bagi bayi. Dengan tangan kiri melindung potong diantara kedua klem.
- Melakukan bonding dan attachment:
a. Memberikan bayi ke ibu untuk kontak skin to skin.
b. Memfasilitasi ibu untuk menyusui bayinya.
c. Menginformasikan kondisi bayi secara umum.
KALA III:
- Memeriksa tinggi fundus uteri, kontraksi dan kondisi kandung kemih melakukan rangsangan kontraksi pada fundus.
- Memeriksa kandung kemih (bila perlu lakukan kateterisasi).
- Pindahkan klem pada tali pusat hingga berjarak 5-10 cm dari vagina.
- Letakkan satu tangan di atas perut ibu, ditepi atas simpisis dan posisi seperti menggunting, tangan lainnya meregangkan tali pusat.
- Saat kontraksi tegangkan tali pusat ke arah bawah sambil tangan lainnya mendorong uterus ke arah dorso-kranial secara hati-hati. Jika plasenta tidak lahir, hentikan peregangan tali pusat dan tunggu hingga kontraksi berikutnya muncul dan ulangi prosedur tadi (pelepasan plasenta dapat dibantu dengan rangsangan pada puting payudara ibu).
- Bila tanda-tanda plasenta sudah lepas timbul (plasenta ada di introitus vagina), minta ibu meneran sambil penolong menarik tali pusat dengan sejajar lantai dan kemudian ke arah atas, sambil tetap melakukan dorong dorso-kranial. Jika tali pusat bertambah panjang pindahkan klem ke depan vulva dan tangan kiri menampung plasenta dan dengan gerakan memutar searah jarum jam lahirkan plasenta dan letakkan pada wadah yang telah disiapkan.
- Periksa kelengkapan plasenta: selaput plasenta dan kotiledon dengan membersihkan dengan kasa (bila ditemukan tidak lengkap atau ada robekan lakukan eksplorasi ke dalam uterus dengan menggunakan sarung tangan yang steril untuk mengeluarkan bagian yang tertinggal).
- Melakukan massase uterus dengan meletakkan telapak tangan di fundus dan lakukan masase dengan gerakan melingkar dengan lembut hingga uterus berkontraksi dan teraba keras (lakukan tindakan yang diperlukan bila uterus tidak berkontraksi setelah 15 detik dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan memeriksa).
- Memeriksa bila ada perdarahan dan cari sumbernya lihat di vagina dan perineum (bila ada robekan lakukan penjahitan), siapkan alat heachting.
- Lanjutkan memeriksa plasenta : ukuran, panjang tali pusat, kotiledon, berat plasenta.
KALA IV:
- Pastikan uterus berkontraksi dengan baik dan tidak terjadi perdarahan pervagina, lakukan pemantauan kontraksi 2-5 per 15 menit pertama, lakukan tiap 15 menit pada 1 jam pertama dan tiap 30 menit pada jam kedua.
- Bayi tetap melakukan kontak dengan ibu melalui menyusui dini. Biarkan bayi tetap berada di payudara ibu selama 1 jam walaupun bayi tidak mengisap putting susu ibu.
- Membersihkan vulva, vagina ibu.
- Ajarkan ibu cara melakukan masase.
- Hitung dan perkirakan jumlah perdarahan.
- Lakukan pengukuran tanda vital : tiap 15 menit untuk nadi dan kandung kemih selama 1 jam pertama, tiap jam untuk suhu dan TD.
- Periksa kembali keadaan bayi untuk memastikan keadaan tanda vital bayi: nadi, pernafasan dan suhu.
- Tempatkan semua peralatan bekas pakai dalam larutan klorin untuk dekontaminasi.
- Buang bahan-bahan yang terkontaminasi ke tempat sampah yang sesuai.
- Bersihkan badan ibu dengan cairan DDT dari sisa ketuban, lendir dan darah, bantu ibu memakai pakaian dalam dan pembalut.
- Pastikan ibu dalam keadaan nyaman, bantu ibu dalam memberikan ASI.
- Bersihkan tempat bersalin dengan larutan klorin selama 10 menit.
- Cuci tangan dengan sabun dan air mengalir.
- Dokumentasikan semua data selama proses persalinan dalam partograph dan dokumen lainnya.

ASUHAN KEPERAWATAN HEPATITIS

I. KONSEP DASAR PENYAKIT

A. DEFINISI

Hepatitis adalah infeksi sistemik oleh virus disertai nekrosis dan inflamasi pada sel-sel hati yang menghasilkan kumpulan perubahan klinis, biokimia serta seluler yang khas (Brunner & Suddarth, 2001).

Hepatitis virus akut adalah penyakit infeksi yang penyebarannya luas, walaupun efek utamanya pada hati (Price & Willson, 2006).

Hepatitis virus akut adalah penyakit infeksi virus hepatotropik yang bersifat sistemik & akut (Mansjoer, dkk, 2000).

B. ETIOLOGI

Paling sedikit ada 6 jenis virus penyebab hepatitis (masing-masing menyebabkan tipe hepatitis yang berbeda), yaitu :
1. Virus hepatitis A (HAV).
2. Virus hepatitis B (HBV).
3. Virus hepatitis C (HCV).
4. Virus hepatitis D (HDV).
5. Virus hepatitis E (HEV).
6. Virus hepatitis G (HGV).



C. KLASIFIKASI

1. Hepatitis A (Hepatitis Infeksiosa)
- Penyebab : Virus hepatitis A (HAV).
- Cara penularan : - Jalur fekal-oral.
- Sanitasi yang jelek.
- Kontak antar manusia.
- Dibawa oleh air & makanan.
- Inkubasi (hari) : 15-49 hari, rata-rata 30 hari.
- Imunitas : Homologus.
- Tanda dan gejala : - Dapat terjadi dengan atau tanpa gejala : sakit mirip flu.
- Fase pra-ikterik : sakit kepala, malaise, patique, anoreksia, febris.
- Fase ikterik : Urine yang berwarna gelap, gejala ikterus pada sclera & kulit, nyeri tekan pada hati.
- Hasil akhir : biasanya ringan dengan pemulihan. Tidak terdapat status karier atau meningkatnya resiko hepatitis kronis, sirosis, atau kanker hati.

2. Hepatitis B (Hepatitis Serum)
- Penyebab : Virus Hepatitis B (HBV).
- Cara penularan : - Parenteral atau lewat koncak dengan karier atau penderita infeksi akut, koncak seksual, & oral-oral.
- Penularan perinatal dari ibu kepada bayinya.
- Inkubasi : 28-160 hari. Rata-rata 70-80 hari.
- Imunitas : Homologus.
- Tanda & gejala : Dapat terjadi tanpa gejala, dapat timbul antralgia ruam.
- Hasil akhir : Dapat berat. Status karier mungkin terjadi. Meningkatnya resiko hepatitis kronis, sirosis, & kanker hati.


3. Hepatitis C (Hepatitis non- A, non-Ba)
- Penyebab : Virus hepatitis C (HCV).
- Cara penularan : Transfusi darah & produk darah, terkena darah yang terkontaminasi lewat peralatan atau parafenalia obat.
- Inkubasi : 15-160 hari (rata-rata 50 hari).
- Imunitas : Serangan kedua dapat homologus menunjukkan imunitas yang rendah atau infeksi oleh agens lain.
- Tanda & gejala : Serupa dengan HBV : tidak begitu berat & anikterik.
- Hasil akhir : Sering terjadi status karier yang kronis & penyakit hati yang kronis. Meningkatnya risiko kanker hati.

4. Hepatitis D
- Penyebab : Virus hepatitis D.
- Cara penularan : Sama seperti HBV, antigen permulaan HBV diperlukan untuk replikasi ; pola penularan serupa dengan pola penularan HBV.
- Inkubasi : 21-140 hari. Rata-rata 35 hari.
- Imunitas : Homologus.
- Tanda & gejala : Serupa dengan HBV.
- Hasil akhir : Serupa dengan HBV, tetapi kemungkinan status karier, hepatitis aktif yang kronis & sirosis lebih besar.

5. Hepatitis E
- Penyebab : virus hepatitis E (HEV).
- Cara penularan : Jalur fekal-oral : kontak antar manusia dimungkinkan meskipun risikonya rendah.
- Inkubasi : 15-65 hari. Rata-rata 42 hari.
- Imunitas : Tidak diketahui.
- Tanda & gejala : Serupa dengan HAV, kecuali sangat berat pada wanita hamil.
- Hasil akhir : Serupa dengan HAV, kecuali sangat berat pada wanita hamil.



D. PATOFISIOLOGI

Skemanya :
Infeksi virus & reaksi toksik

Inflamasi pada hepar (Lobule)

Pola hepar terganggu

Nekrosis & kerusakan sel hepar

Inflamasi yang menyebar pada hepar (hepatitis) dapat disebabkan oleh infeksi virus & oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan & bahan-bahan kimia. Unit fungsional dasar dari hepar disebut lobule & unit ini unik karena memiliki suplai darah sendiri. Seiring dengan berkembangnya inflamasi pada hepar, pola normal pada hepar terganggu. Gangguan terhadap suplai darah normal pada sel-sel hepar ini menyebabkan nekrosis & kerusakan sel-sel hepar. Setelah lewat masanya, sel-sel hepar yang menjadi rusak dibuang dari tubuh oleh respon system imun dan digantikan oleh sel-sel hepar baru yang sehat. Oleh karenanya, sebagian besar pasien yang mengalami hepatitis sembuh dengan fungsi hepar normal.

E. MANIFESTASI KLINIS

Terjadi gejala prodromal infeksi viral sistemik seperti anoreksia, nausea, vomiting, fatigue, malaise, artralgia, mialgia, nyeri kepala, fotopobia, faringitis, batuk dan koriza dapat mendahului timbulnya ikterus selama 1-2 minggu. Apabila hepar sudah membesar pasien dapat mengeluh nyeri perut kanan atas.

Demam, dengan suhu sekitar 38-39 °C lebih sering ditemukan pada hepatitis A. Urine berwarna gelap (seperti air teh) dan feses berwarna tanah (clay-colored). Dengan timbulnya gejala kuning/ikterus maka biasanya gejala prodromal menghilang. Hepatomegali dapat disertai nyeri tekan. Splenomegali dapat ditemukan pada 10-20% pasien.
F. KOMPLIKASI

Dapat terjadi komplikasi ringan, misalnya kolestasis berkepanjangan, relapsing hepatitis, atau hepatitis kronis persisten dengan gejala asimtomatik dan AST fluktuatif.
Komplikasi berat dapat terjadi adalah hepatitis kronis aktif, sirosis hati, hepatitis fulminan, atau karsinoma hepatoseluler. Selain itu, dapat pula terjadi anemia aplastik, glomerulonefritis.

G. PROGNOSIS

Hepatitis A biasanya mempunyai prognosis baik kecuali yang fulminan, sedangkan hepatitis B prognosisnya semakin buruk bila infeksi terjadi semakin dini.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Terdapat 2 pemeriksaan penting untuk mendiagnosis hepatitis, yaitu tes awal untuk mengkonfirmasi adanya peradangan akut pada hati dan tes yang bertujuan untuk mengetahui etiologi dari peradangan akut tersebut.
Pemeriksaan tes fungsi hati, khususnya Alanin Amino Transferase (ALT = SGPT), Aspartat Amino Transferase (AST = SGOT). Bila perlu ditambah dengan pemeriksaan billirubin.
Kadar transaminase (SGOT/SGPT) mencapai puncak pada saat timbulnya ikterus. Peningkatan kadar SGOT & SGPT yang menunjukkan adanya kerusakan sel-sel hati adalah 50-2.000 IU/mL. Terjadi peningkatan billirubin total serum (berkisar antara 5-20 mg/dL).

I. PENGOBATAN

Tidak terdapat terapi spesifik untuk hepatitis virus akut. Tirah baring selama fase akut penting dilakukan, dan diet rendah lemak dan tinggi karbohidrat umumnya merupakan makanan yang dapat dimakan oleh penderita. Pemberian makanan secara intravena mungkin perlu diberikan selama fase akut bila pasien terus-menerus muntah. Aktivitas fisik biasanya perlu dibatasi hingga gejala mereda dan tes fungsi hati kembali normal.
Pengobatan terpilih untuk hepatitis B atau C kronis simtomatik adalah terapi antivirus dengan interferon - α. Terapi antivirus untuk hepatitis D kronis membutuhkan pasien uji eksperimental.

J. PENCEGAHAN

Pengobatan lebih ditekankan pada pencegahan melalui imunisasi karena keterbatasan pengobatan hepatitis virus. Vaksin diberikan dengan rekomendasi untuk jadwal pemberian 2 dosis bagi orang dewasa berumur 18 tahun & yang lebih tua. Dan dosis ke-2 diberikan 6 hingga 12 bulan setelah dosis pertama. Cara pemberian adalah suntikan intramuskular dalam otot deltoideus.

II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

1. Aktivitas/Istirahat
Gejala : Kelemahan, kelelahan, malaise umum.

2. Sirkulasi
Tanda : Bradikardia (hiperbillirubinemia berat), ikterik pada sklera, kulit & membran mukosa.

3. Eliminasi
Gejala : Urine gelap, diare/konstipasi, feses warna tanah liat, adanya/berulangnya hemodialisa.

4. Makanan/Cairan
Gejala : Hilang nafsu makan (anoreksia), penurunan berat badan atau meningkat (edema), mual/muntah.
Tanda : Asites.

5. Neurosensori
Tanda : Peka rangsang, cenderung tidur, letargi, asteriksis.

6. Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Kram abdomen, nyeri tekan pada kuadran kanan atas, mialgia, artralgia, sakit kepala, gatal (pruitus).
Tanda : Otot tegang, gelisah.

7. Pernafasan
Gejala : Tidak minat/enggan merokok (perokok).

8. Keamanan
Gejala : Adanya transfusi darah/produk darah.
Tanda : Demam, urtikaria, lesi makulopapular, eritema tak beraturan, eksaserbasi jerawat, angioma jaring-jaring, eritema palmar, ginekomastia (kadang-kadang ada pada hepatitis alkoholik), splenomegali, pembesaran nodus servikal posterior.

9. Seksualitas
Gejala : Pola hidup/perilaku meningkatkan risiko terpajan.

10. Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala : Terpajan virus, bakteri atau toksin, pembawa (simtomatik atau asimtomatik), adanya prosedur bedah dengan anestesia haloten, terpajan pada kimia toksik, perjalanan/imigran, obat jalanan atau penggunaan alkohol, diabetes, penyakit ginjal, adanya infeksi seperti flu pada pernafasan atas.
B. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1. Tes fungsi hati.
2. AST (SGOT)/ALT (SGPT).
3. Darah lengkap.
4. Leukopenia.
5. Diferensial darah lengkap.
6. Alkali fosfatase.
7. Feses.
8. Albumin serum.
9. Gula darah.
10. Anti – HAV IgM.
11. Hbs Ag.
12. Billirubin serum.
13. Tes ekskresi BSP.
14. Biopsi hati.
15. Scan hati.
16. Urinalisa.

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI

1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum; penurunan kekuatan/ketahanan; nyeri.
Tujuan : Pasien mampu beraktivitas kembali.
Kriteria Hasil :- Menyatakan pemahaman situasi/faktor risiko & program pengobatan individu.
- Menunjukkan tehnik/perilaku yang memampukan kembali melakukan aktivitas.
- Melaporkan kemampuan melakukan peningkatan toleransi aktivitas.

Intervensi:
- Tingkatkan tirah baring/duduk, berikan lingkungan tenang.
Rasional : Meningkatkan istirahat & ketenangan menyediakan energi yang digunakan untuk penyembuhan. Aktivitas dan posisi duduk tegak diyakini menurunkan aliran darah ke kaki, yang mencegah sirkulasi optimal ke sel hati.
- Ubah posisi dengan sering. Berikan perawatan kulit yang baik.
Rasional : Meningkatkan fungsi pernapasan & meminimalkan tekanan pada area tertentu untuk menurunkan risiko kerusakan jaringan.
- Lakukan tugas dengan cepat & sesuai toleransi.
Rasional : Memungkinkan periode tambahan istirahat tanpa gangguan.
- Tingkatkan aktivitas sesuai toleransi. Bantu melakukan latihan rentang gerak sendi pasif/aktif.
Rasional : Tirah baring lama dapat menurunkan kemampuan. Ini dapat terjadi karena keterbatasan aktivitas yang mengganggu periode istirahat.
- Awasi terulangnya anoreksia dan nyeri tekan pembesaran hati.
Rasional : Menunjukkan kurangnya resolusi/eksaserbasi penyakit, memerlukan istirahat lanjut, mengganti program terapi.

2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan gangguan absorpsi & metabolisme pencernaan makanan ; penurunan peristaltik (refleks viseral), empedu tahanan.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Kriteria Hasil : - Menunjukkan perilaku perubahan pola hidup untuk meningkatkan/mempertahankan berat badan yang sesuai.
- Menunjukkan peningkatan berat badan mencapai tujuan dengan nilai Lab. normal & bebas tanda malnutrisi.
Intervensi:
- Awasi pemasukan diet. Berikan makanan sedikit dalam frekuensi sering dan tawarkan makanan pagi.
Rasional : Makan banyak sulit untuk mengatur bila pasien anoreksia. Anoreksia juga paling buruk selama siang hari, membuat masukan makanan yang sulit pada sore hari.
- Berikan perawatan mulut sebelum makan.
Rasional : Menghilangkan rasa tak enak dapat meningkatkan nafsu makan.
- Anjurkan makan pada posisi duduk tegak.
Rasional : Menurunkan rasa penuh pada abdomen dan dapat meningkatkan pemasukan.
- Konsul pada ahli diet, dukungan tim nutrisi untuk memberikan diet sesuai kebutuhan pasien dengan masukan lemak & protein sesuai toleransi.
Rasional : Untuk memenuhi kebutuhan individu. Metabolisme lemak bervariasi tergantung pada produksi & pengeluaran empedu & perlunya pembatasan lemak bila terjadi diare.
- Awasi glukosa darah.
Rasional : Hiperglikemia/hipoglikemia dapat terjadi, memerlukan perubahan diet/pemberian insulin.
- Berikan tambahan makanan/nutrisi dukungan total bila dibutuhkan.
Rasional : Untuk memenuhi kebutuhan kalori bila tanda kekurangan terjadi/gejala memanjang.


DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. EGC. Jakarta.
Doenges, Marilynn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan; Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC. Jakarta.
Hudak & Gallo. (1996). Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik. EGC. Jakarta.
Mansjoer, Arif, dkk. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius. Jakarta.
Noer, Sjaifoellah, dkk. (1996). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

Rabu, 02 Februari 2011

IRIGASI TELINGA

Pengertian:
Irigasi telinga adalah suatu usaha untuk memasukkan cairan dalam telinga.
Tujuan: Untuk membersihkan atau mengeluarkan benda asing dari dalam telinga.

Indikasi:
1. Sumbatan serumen.
2. Adanya benda asing dalam telinga.

Kontra Indikasi:
1. Gangguan pada membran tympani.

Kemungkinan Komplikasi:
Ruptur (pecah) pada membran tympani.

Peralatan:
1. Alat irigasi telinga dengan penghisap (peralatan dapat bervariasi dari sprit balon sampai water pik) bila tersisa.
2. Sediakan forset telinga.
3. Air (sama dengan suhu tubuh)
4. Basin (bengkok) untuk menampung cairan.
5. Handuk/laken untuk menutupi pakaian pasien.

Prosedur Kerja:
1. Kumpulkan semua peralatan.
2. Identifikasi pasien.
3. Jelaskan prosedur tindakan pada pasien.
4. Cuci tangan.
5. Tutupi pasien dengan handuk/laken.
6. Berikan pasien posisi duduk.
7. Tarik aurikel (daun telinga) ke atas dan ke belakang.
8. Arahkan aliran cairan dari bagian atas liang telinga menggunakan spuit balon/water pik.
9. Keringkan bagian luar telinga setelah irigasi telinga dilakukan.

Tindak Lanjut:
1. Kaji keberhasilan irigasi telinga.
2. Kaji rasa nyaman pasien.
3. Bersihkan peralatan.

Dokumentasi:
1. Tanggal dan waktu prosedur.
2. Tipe dan jumlah cairan.
3. Toleransi pasien terhadap prosedur.
4. Karakter cairan yang keluar.
5. Intruksi-intruksi yang diperlukan oleh pasien atau keluarga.

Pemberian Obat Tetes Telinga:
Petunjuk cara menggunakan beter telinga yaitu:
1. Hangatkan larutan sepanas suhu badan (tidak lebih 38 °C) dapat timbul vertigo (pusing) bila cairan kepanasan atau kedinginan (obat tetesnya boleh genggam di dalam tangan beberapa saat atau rendam dalam cairan hangat).
2. Usahakan agar telinga pasien ke atas.
3. Luruskan lubang telinga dengan menarik daun telinga ke atas dan ke belakang (pada orang dewasa).
4. Teteskan obat pada dinding saluran.
Tujuan: Supaya cairan mudah mengalir melalui dinding telinga kalau ditetes ke tengah dapat menghalang gelembung udara.
5. Pertahankan kepala pasien pada posisi tadi selama 2-3 menit.
6. Keringkan telinga luar dari obat untuk mencegah iritasi.
7. Tutup telinga dengan kapas bila perlu.

TINDAKAN DEBRIDEMENT PERAWATAN LUKA BAKAR

Pengertian:
Luka bakar adalah luka yang disebabkan oleh api, dan oleh penyebab lain dengan akibat serangan. Dapat juga disebabkan oleh air panas, listrik, bahan kimia dan radiasi.

Tujuan:
1. Untuk menentukan kedalaman luka bakar.
2. Untuk memberikan suportif atau resusitatif awal pada pasien dengan luka bakar.

Indikasi:
Luka bakar akibat listrik, bahan kimia, sengatan atau panas.

Persiapan Alat:
1. Sarung tangan bersih.
2. Sarung tangan steril.
3. Set steril.
- Kain kasa ukuran 4x4.
- Instrumen bak/bengkok.
- Duk steril.
- Kom kecil.
- Gunting.
- Pinset dan arteri klem.
4. Cairan NaCl 0,9%.
5. Spuit steril.
6. Gown bersih/celemek.
7. Pinset bersih.
8. Pengalas atau under pad.
9. Plester.
10. Tempat sampah.
11. Selimut ekstra (bila perlu).

Cara Kerja:
1. Jelaskan kepada klien prosedur dan tujuan mengganti luka.
2. Kaji skala nyeri, berikan obat analgesik 30 menit sebelum melakukan prosedur.
3. Bawa alat ke dekat pasien dan anjurkan kepada klien agar tidak menyentuh alat selama melakukan prosedur.
4. Jaga privasi klien.
5. Atur posisi klien yang nyaman dan tutup klien dengan selimut ekstra.
6. Letakkan alat-alat dekat dengan pasien.
7. Pasang under pad di bawah area yang ada luka.
8. Buka selimut dan baju klien sehingga bagian yang luka kelihatan.
9. Tempatkan bengkok di bawah luka.
10. Cuci tangan selama 1 menit dan pakai sarung tangan bersih.
11. Angkat balutan yang lama bagian luar dengan pinset bersih dan tinggalkan verban bagian dalam.
12. Nilai luka seperti jaringan granulasi, dehiscence, inflamasi serta karakter luka seperti: warna dan bau.
13. Nilai kulit sekitar luka: ekskoreasi, rednes, dan inflamasi.
14. Buka sarung tangan dan cuci tangan selama 3 menit.
15. Siapkan area steril.
16. Buka set balutan dan tuangkan cairan steril ke dalam kom kecil.
17. Buka bungkus spuit 20-50 cc, letakkan di area steril tanpa menyentuh area tersebut.
18. Pakai sarung tangan steril.
19. Peras kain kasa dan tempatkan pada bak instrument.
20. Isi cairan spuit.
21. Pasang duk steril di sekitar luka dan angkat balutan luka bagian dalam dengan pinset steril secara hati-hati lalu buang ke bengkok. Apabila balutan sukar diangkat, katakan kepada klien bahwa kondisi ini akan membuat anda tidak nyaman atau nyeri, jangan dituangkan cairan karena akan merusak jaringan pada saat verban diangkat.
22. Dekatkan spuit yang berisi cairan ke luka dan semprotkan secara hati-hati mulai dari permukaan luka sampai ke bagian yang dalam. Lakukan sampai cairan habis atau cairan yang keluar dari luka menjadi bening. Inspeksi luka, bila ada jaringan nekrose lakukan nekrotomi dengan mengangkat jaringan nekrotik, lalu bersihkan dengan kain kasa yang telah dilembabkan. Bersihkan luka dengan kain kasa 2x2 yang lembab mulai dari daerah tengah ke pinggir luar. Apabila lukanya dalam, ganti ujung spuit dengan kateter yang lembut dan masukkan ke dalam luka, lalu lakukan irigasi sampai air keluar dari luka menjadi bening.
23. Keringkan luka dengan kain kasa steril.
24. Setelah bersih, kompres dengan kain kasa lembab dan tutup dengan kasa kering.
25. Buka sarung tangan.
26. Rekatkan dengan plester, kembalikan posisi yang nyaman.
27. Rapikan alat-alat dan kembalikan ke tempatnya.
28. Cuci tangan.

PERAWATAN KOLOSTOMI

Tujuan Umum:
Setelah mengikuti pelatihan ini diharapkan peserta dapat melakukan perawatan kolostomi dengan benar.
Tujuan Khusus:
Setelah mengikuti pelatihan peserta diharapkan mampu:
1. Menjelaskan tujuan pembuatan kolostomi.
2. Menyebutkan tipe-tipe kolostomi dan menentukan lokasi tiap tipe kolostomi dan konsistensi keluaran.
3. Menjelaskan tujuan manajemen keperawatan kolostomi.
4. Mengimplementasikan tehnik keperawatan kolostomi:
- Observasi stoma dan peristoma.
- Perawatan kulit peristoma.
- Seleksi kantong stoma.
- Cara mengosongkan kantong stoma.

Pendahuluan
A. Kolostomi adalah pembuatan lubang dari kolon ke permukaan abdomen. Feses keluar melalui stoma dengan aksi peristaltik. Berhubung karena stoma tidak mempunyai spincter, maka flatus dan feses keluar tidak terkontrol. Stoma yang normal adalah segar, lembab, merah mengkilap, sama dengan mukosa bibir. Lokasi stoma bisa dimana saja ditentukan oleh lesi kolon seperti : sekum, tranverse, dan sigmoid.
Ada beberapa tipe kolostomi:
1. Permanent Kolostomi (Singgle Bariel), yaitu jika sebagian dari kolon diangkat karena tumor, obstruksi atau karena proses suatu penyakit seperti chron disease atau paraplegi.
2. Temporari Kolostomi (Double Bariel), adalah mengalihkan pengeluaran feses sementara untuk penyembuhan setelah infeksi atau reseksi sebagian kolon, kemudian disambung lagi dengan reanastomose dan pasien dapat buang air besar normal kembali. Lokasi stoma untuk sigmoid umumnya dipertengahan antara lipatan paha dan garis pinggang serta pertengahan garis tengah abdomen sebelah kiri. Lokasi yang sama tapi sebelah kanan umumnya adalah lokasi untuk stoma kolon assenden. Keluaran dari stoma sigmoid maupun stoma assenden dari semi solid sampai solid.

B. Ileostomi adalah pembuatan lubang dari ileum ke permukaan abdomen. Prosedur ini dilakukan apabila seluruh kolon harus diangkat atau bypass karena suatu penyakit seperti kanker, ulserative colitis, atau chron disease. Keluarannya biasanya cairan yang kaya akan enzim pencernaan. Lokasi stoma umumnya bagian kanan, dibawah pinggang.

C. Continent Ileostomi adalah alternatif untuk membuat intussusception yaitu berupa kantong ileum dibawah dinding abdomen dan dibuat klep untuk mencegah drainage effluent dengan cara memasukkan kateter ke dalam stoma untuk mengeluarkan effluent secara teratur. Prosedur ini disebut “Koch Pouch”

Pengkajian:
1. Tentukan tipe kolostomi pasien.
2. Kaji alasan dilakukan kolostomi.
3. Tanyakan apakah pasien mengerti cara perawatan stoma.
4. Observasi respon pasien baik verbal maupun non verbal saat diskusi tentang stoma.
5. Kaji warna, size, kelembaban, dan intact jahitan luka stoma.
6. Inspeksi peristoma apakah ada kemerahan, area yang teriritasi, dan abnormal lainnya.

Diagnosa Keperawatan:
1. Perilaku mencari tenaga kesehatan berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang merawat stoma.
2. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan sering terekspos dengan keluaran dari stoma.
3. Gangguan body image berhubungan dengan perubahan fungsi tubuh.
4. Konstipasi atau diare berhubungan dengan perubahan pola eliminasi.

Perencanaan:
1. Peristoma intact tidak ada kemerahan, iritasi, dan erosi.
2. Tidak ada kebocoran di sekitar stoma.
3. Kantong stoma hanya terisi separuh kantong setiap saat.
4. Kantong stoma terhindar dari bau.
5. Perawat/care giver/pasien dapat mendemonstrasikan cara perawatan kolostomi.

Persiapan Alat:
1. Cairan skin barrier.
2. Pasta barrier.
3. Kantong kolostomi, clear drainable colostomy/ileostomy dengan ukuran yang tepat untuk two-piece dengan klem system atau one piece yang ada skin barrier.
4. Bensin wash.
5. Sarung tangan bersih.
6. Ostomy deodorant (pewangi ruangan).
7. Kapas lembab.
8. Pengalas (under pad).
9. Baskom dengan air hangat.
10. Gunting kolostomi.
11. Plester atau ostomy belt.
12. Kolostomi guide.
13. Powder kolostomi (bagi klien yang iritasi kulit).
14. Kantong sampah.
15. Near beken.
16. Kom.
17. Spidol.

Cara Kerja:
1. Atur posisi pasien supine atau berdiri.
2. Cuci tangan dan pakai sarung tangan bersih.
3. Pasang pengalas (under pad).
4. Angkat kantong kolostomi lama dengan menekan kulit sekitar kolostomi, gunakan bensin wash untuk mempermudah dan letakkan ke kantong sampah.
5. Bersihkan peristoma secara hati-hati dengan menggunakan kapas lembab lalu dikeringkan dengan tissue.
6. Gunting lubang kantong kolostomi baru dengan menggunakan kolostomi guide (1/16-1/8 inc lebih besar dari lubang kolostomi) sebelum membuka plastik penutup perekat kantong/face plate.
7. Pasang skin barrier dan kantong, apabila kulit ada yang tidak rata beri pasta kolostomi dan tunggu sampai kering 1-2 menit sebelum dipasang kantong kolostomi.
8. Tekan pinggir kantong kolostomi dengan telunjuk secara pelan.
9. Jika kantong kolostomi telah terpasang dengan baik letakkan tangan perawat diatas kolostomi selama 2 menit untuk meyakinkan bahwa kantong terpasang dengan benar.
10. Pasang belt kolostomi atau plester non allergic.
11. Rapikan alat-alat dan semprot ruangan dengan deodorant kolostomi (pewangi ruangan).
12. Buka sarung tangan dan cuci tangan.
13. Kantong kolostomi dapat dipertahankan 3-7 hari serta dapat dipakai saat mandi dan setelah mandi dan keringkan dengan baik.
14. Dokumentasikan.

Evaluasi:
1. Tidak ada kemerahan, iritasi, erosi, dan gangguan kulit sekitar peristoma.
2. Sekitar stoma bebas dari kebocoran.
3. Kantong stoma hanya berisi setengah oleh feses dan bebas dari flatus (tidak kembung).
4. Bebas bau dari kantong stoma.
5. Pasien dapat merawat stoma secara mandiri.

Dokumentasi:
1. Penampilan dari stoma, kulit peristoma, karakter keluaran dari stoma.
2. Dokumentasikan respon pasien terhadap stoma.
3. Laporkan proses pembelajaran dalam merawat stoma secara mandiri.

ASUHAN KEPERAWATAN GLOMERULONEFRITIS DAN PIELONEFRITIS

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Glomerulonefritis adalah suatu sindrom yang ditandai oleh peradangan dari glomerulus diikuti pembentukan beberapa antigen yang mungkin endogenus (seperti sirkulasi tiroglobulin) atau eksogenus (agen infeksius atau proses penyakit sistemik yang menyertai) hospes (ginjal) mengenal antigen sebagai benda asing dan mulai membentuk antibody untuk menyerangnya. Respon peradangan ini menimbulkan penyebaran perubahan patofisiologis, termasuk menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG), peningkatan permeabilitas dari dinding kapiler glomerulus terhadap protein plasma (terutama albumin) dan SDM, dan retensi abnormal natrium dan air yang menekan produksi renin dan aldosteron (Glassok, 1988; Dalam buku Sandra M. Nettina, 2001).

Pielonefritis adalah inflamasi atau infeksi akut pada pelvis renalis, tubula dan jaringan interstisiel. Penyakit ini terjadi akibat infeksi oleh bakteri enterit (paling umum adalah Escherichia Coli) yang telah menyebar dari kandung kemih ke ureter dan ginjal akibat refluks vesikouretral. Penyebab lain pielonefritis mencakup obstruksi urine atau infeksi, trauma, infeksi yang berasal dari darah, penyakit ginjal lainnya, kehamilan, atau gangguan metabolik (Sandra M. Nettina, 2001).

Penyebab glomerulonefritis yang lazim adalah streptokokkus beta nemolitikus grup A tipe 12 atau 4 dan 1, jarang oleh penyebab lainnya. Tanda dan gejalanya adalah hematuria, proteinuria, oliguria, edema, dan hipertensi (Sylvia A. Price dan Lorraine M. Willson, 2005).

Penyebab pielonefritis yang paling sering adalah Escherichia Coli. Tanda dan gejalanya adalah demam timbul mendadak, menggigil, malaise, nyeri tekan daerah kostovertebral, leukositosis, dan bakteriuria (Sylvia A. Price dan M. Willson, 2005).

Berdasarkan hasil penelitian glomerulonefritis dan pielonefritis lebih sering terjadi pada anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki. Karena bentuk uretranya yang lebih pendek dan letaknya berdekatan dengan anus. Studi epidemiologi menunjukkan adanya bakteriuria yang bermakna pada 1% sampai 4% gadis pelajar. 5%-10% pada perempuan usia subur, dan sekitar 10% perempuan yang usianya telah melebihi 60 tahun. Pada hampir 90% kasus, pasien adalah perempuan. Perbandingannya penyakit ini pada perempuan dan laki-laki adalah 2 : 1.

B. TUJUAN PENULISAN

1. Tujuan Umum
Menambah ilmu pengetahuan dan pemahaman tentang asuhan keperawatan glomerulonefritis dan pielonefritis.

2. Tujuan Khusus
- Agar mampu melakukan pengkajian pada pasien glomerulonefritis dan pielonefritis.
- Agar mampu menegakkan diagnosa keperawatan pada pasien glomerulonefritis dan pielonefritis.
- Agar mampu melakukan intervensi pada pasien glomerulonefritis dan pielonefritis.
- Agar mampu melaksanakan implementasi pada pasien glomerulonefritis dan pielonefritis.
- Agar mampu melakukan evaluasi pada pasien glomerulonefritis dan pielonefritis.


BAB II
PEMBAHASAN

I. KONSEP DASAR PENYAKIT

A. GLOMERULONEFRITIS

1. Pengertian

Glomerulonefritis adalah peradangan dan kerusakan pada alat penyaring darah sekaligus kapiler ginjal (glomerulus) (Sandra M. Nettina, 2001).

Glomerulonefritis adalah sindrom yang ditandai oleh peradangan dari glomerulus diikuti pembentukan beberapa antigen (Barbara Engram, 1999).

Glomerulonefritis akut adalah istilah yang sering secara luas digunakan yang mengacu pada sekelompok penyakit ginjal dimana inflamasi terjadi di glomerulus (Brunner & Suddarth, 2001).

2. Etiologi

a. Kuman streptococcus.
b. Berhubungan dengan penyakit autoimun lain.
c. Reaksi obat.
d. Bakteri.
e. Virus.
(Sandra M. Nettina,2001).

3. Manifestasi Klinis

a. Faringitis atau tansiktis.
b. Demam.
c. Sakit kepala.
d. Malaise.
e. Nyeri panggul.
f. Hipertensi.
g. Anoreksia.
h. Muntah.
i. Edema akut.
j. Oliguria, proteinuria, dan urine berwarna cokelat.
(Sandra M. Nettina, 2001).

4. Patofisiologi

Prokferusi seluler (peningkatan produksi sel endotel ialah yang melapisi glomerulus). Infiltrasi leukosit ke glomerulus atau membran basal menghasilkan jaringan perut dan kehilangan permukaan penyaring. Pada glomerulonefritis ginjal membesar, bengkak dan kongesti. Pada kenyataan kasus, stimulus dari reaksi adalah infeksi oleh kuman streptococcus A pada tenggorokan, yang biasanya mendahului glomerulonefritis sampai interval 2-3 minggu. Produk streptococcus bertindak sebagai antigen, menstimulasi antibodi yang bersirkulasi menyebabkan cedera ginjal (Sandra M. Nettina, 2001).

5. Pemeriksaan Diagnostik

a. Urinalisis (UA).
b. Laju filtrasi glomerulus (LFG).
c. Nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin serum.
d. Pielogram intravena (PIV).
e. Biopsi ginjal.
f. Titer antistrepsomisin O (ASO).
(Sandra M. Nettina, 2001).

6. Penatalaksanaan

a. Manifestasi diet:
- Pembatasan cairan dan natrium.
- Pembatasan protein bila BUN sangat meningkat.
b. Farmakoterapi
- Terapi imunosupresif seperti agen sitoksit dan steroid untuk glomerulonefritis progresif cepat.
- Diuretik, terutama diuretik loop seperti furosemid (lasix), dan bumex.
- Dialisis, untuk penyakit ginjal tahap akhir.
(Sandra M. Nettina, 2001).

7. Komplikasi

a. Hipertensi.
b. Dekopensasi jantung.
c. GGA (Gagal Ginjal Akut).
(Sandra M. Nettina, 2001).


B. PIELONEFRITIS

1. Pengertian

Pielonefritis merupakan infeksi bakteri pada piala ginjal, tubulus, dan jaringan interstinal dari salah satu atau kedua ginjal ( Brunner & Suddarth, 2002).

Pielonefritis merupakan suatu infeksi dalam ginjal yang dapat timbul secara hematogen atau retrograd aliran ureterik (J.C.E. Underwood, 2007).

2. Etiologi

a. Bakteri (Escherichia Coli, Klebsiella Pneumoniac, Streptococcus Fecalis).
b. Obstruksi urinari track.
c. Refluks.
d. Kehamilan.
e. Kencing manis.
f. Keadaan-keadaan menurunnya imunitas untuk melawan infeksi.
(Barbara Engram, 1988).
3. Manifestasi Klinis

Gejala yang paling umum dapat berupa demam tiba-tiba, kemudian dapat disertai menggigil, nyeri punggung bagian bawah, mual dan muntah (Barbara Engram, 1988).

4. Patofisiologi

Bakteri naik ke ginjal dan pelvis ginjal melalui saluran kandung kemih dan uretra. Flora normal fekal seperti E. Coli, Streptococcus Fecali, Pseudomonas Aeruginosa, dan Staphilococcus Aureus adalah bakteri paling umum yang menyebabkan pielonefritis akut, E. Coli menyebabkan sekitar 85% infeksi. Pada pielonefritis akut, inflamasi menyebabkan pembesaran ginjal yang tidak lazim. Korteks dan medula mengembang dan multipel abses. Kulit dan pelvis ginjal juga akan berinvolusi. Resolusi dari inflamasi menghasilkan fibrosis dan scarring pielonefritis kronik muncul setelah periode berulang dari pielonefritis akut. Ginjal mengalami perubahan degeneratik dan menjadi kecil serta atrophic. Jika destruksi nefron meluas, dapat berkembang menjadi gagal ginjal (Barbara Engram, 1988).

5. Pemeriksaan Diagnostik

a. Whole Blood.
b. Urinalisis.
c. USG dan Radiologi.
d. BUN.
e. Kreatinin.
f. Serum Selectrolytes.
(Barbara Engram, 1988).

6. Komplikasi
a. Nekrosis papila ginjal.
b. Fionefrosis.
c. Abses perinefrit.
(Barbara Engram, 1988).
7. Penatalaksanaan

a. Terapi antimikroba spesifik organisme:
- Biasanya dimulai segera untuk mencakup prevalen patogen gram negatif, kemudian disesuaikan berdasarkan hasil kultur urine.
- Pengobatan dilakukan 2 minggu atau lebih.
b. Pengobatan pasien rawat inap dengan terapi antimikroba parenteral jika pasien tidak dapat mentoleransi asupan oral dan mengalami dehidrasi atau penyakit akut.
c. Drainase perkutan atau terapi antibiotik yang lama diperlukan untuk mengobati abses renal atau abses perinefrik.
(Barbara Engram, 1988).


II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

1. Genitourinaria : urine keruh, proteinuria, penurunan urine output, hematuria.
2. Kardivaskular : hipertensi.
3. Neurologis : letargi, iritabilitas, kejang.
4. Gastrointestinal : anoreksia, azotemia, hiperkalemia.
5. Integumen : pucat, edema.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI

1. Perubahan pola eliminasi urine (disuria, dorongan, frekuensi, atau nokturia) berhubungan dengan infeksi pada ginjal.
Tujuan : pola eliminasi urine dalam batas normal (3-6 x/hari).
Kriteria Hasil : - Pasien bisa berkemih secara normal.
- Tidak ada infeksi pada ginjal, tidak nyeri waktu berkemih.

Intervensi:
- Ukur dan catat urine setiap kali berkemih.
Rasional : Untuk mengetahui adanya perubahan warna dan untuk mengetahui input/output.
- Anjurkan untuk berkemih setiap 2-3 jam.
Rasional : Untuk mencegah terjadinya penumpukan urine dalam vesika urinaria.
- Palpasi kandung kemih setiap 4 jam.
Rasional : Untuk mengetahui adanya distensi kandung kemih.
- Bantu klien ke kamar kecil, memakai pispot/urinal.
Rasional : Untuk memudahkan klien dalam berkemih.

2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi dengan cukup.
Kriteria Hasil : Klien akan menunjukkan peningkatan intake ditandai dengan porsi akan dihabiskan minimal 80%.

Intervensi:
- Sediakan makanan yang tinggi karbohidrat.
Rasional : Diet tinggi karbohidrat biasanya lebih cocok dan menyediakan kalori essensial.
- Sajikan makanan sedikit-sedikit tapi sering, termasuk makanan kesukaan klien.
Rasional : Menyajikan makanan sedikit-sedikit tapi sering memberikan kesempatan bagi klien untuk menikmati makanannya, dengan menyajikan makanan kesukaan dapat meningkatkan nafsu makan.
- Batasi masukan sodium dan protein sesuai order.
Rasional : Sodium dapat menyebabkan retensi cairan, pada beberapa kasus ginjal tidak dapat memetabolisme protein, sehingga perlu untuk membatasi pemasukan cairan.

3. Nyeri berhubungan dengan infeksi pada ginjal.
Tujuan : Nyeri berkurang atau tidak ada.
Kriteria Hasil : - Klien menunjukkan wajah yang rileks.
- Infeksi bisa diatasi.
Intervensi:
- Kaji intensitas, lokasi, dan faktor yang memperberat dan memperingankan nyeri.
Rasional : Rasa sakit yang hebat menandakan adanya infeksi.
- Berikan waktu istirahat yang cukup.
Rasional : Klien dapat beristirahat dengan tenang dan dapat merilekskan otot-otot.
- Anjurkan minum banyak 2-3 liter jika tidak ada kontraindikasi.
Rasional : Untuk membantu klien dalam berkemih.
- Berikan analgesik sesuai dengan program terapi.
Rasional : Analgesik dapat memblok lintasan nyeri.


DAFTAR PUSTAKA

Engram, Barbara. (1992). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume 1. EGC. Jakarta.
Lawler, William, dkk. (1992). Buku Pintar Patologi Untuk Kedokteran Gigi. EGC. Jakarta.
Nettina, Sandra M. (2001). Pedoman Praktik Keperawatan. EGC. Jakarta.
Price, Sylvia,dkk. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. EGC. Jakarta